Minggu, 18 Mei 2014

TARI SOYA-SOYA


Tari soya-soya bukan hanya bagian dari budaya kesultanan Ternate tetapi juga refleksi sejarah perjuangan masyarakat Kayoa, di Kabupaten Halmahera Selatan. Tarian ini sudah ada sejak ratusan tahun silam dimana merupakan sebuah tarian heroik untuk menyambut pasukan selepas bertempur di medan perang. Kata ‘soya-soya’ sendiri bermakna ‘semangat pantang’.

Tarian soya-soya merupakan bagian dari budaya Maluku Utara. Anak-anak di wilayah ini sedari masih kecil sudah diajari tarian tersebut, bahkan hingga di kampung-kampung. Berikutnya, bahkan tarian ini pun diajarkan kembali di Sekolah Dasar.

Catatan sejarah masyarakat Ternate menyebutkan bahwa tahun 1570-1583 terjadi penyerbuan ke Benteng Nostra Senora del Rosario (Benteng Kastela), diujung Selatan Ternate oleh Sultan Babullah dan pasukannya. Penyerbuan ini bertujuan untuk mengambil jenazah ayah handa Sultan Babullah, yaitu Sultan Khairun yang dibunuh dengan cara kejam oleh tentara Portugis. Pertempuran itu menandai kebangkitan perjuangan rakyat Kayoa terhadap penjajah dengan mengepung benteng tersebut selama 5 tahun pada akhir abad ke-16.

Tarian soya-soya tercipta pada masa Sultan Baabullah (Sultan Ternate Ke-24), dari Kesultanan Ternate, untuk mengobarkan semagat pasukan pasca-tewasnya Sultan Khairun pada 25 Februari 1570. Saat itu, tarian soya-soya dimaknai sebagai perang pembebasan dari Portugis hingga jatuhnya tahun 1575. Pada masa berikutnya Kesultanan Ternate menjadi penguasa 72 pulau berpenghuni di wilayah timur Nusantara hingga Mindanao Selatan di Filipina dan Kepulauan Marshall.

Pakaian yang dikenakan dalam tarian ini berwarna putih dan kain sambungan serupa rok berwarna warni (merah, hitam, kuning dan hijau). Setiap penari akan mengenakan ikat kepala berwarna kuning (taqoa) dimana itu sebagai simbol seorang prajurit perang. Adapun perlengkapan yang dibawa adalah berupa pedang (ngana-ngana) dari bambu berhiaskan daun palem (woka) berwarna merah, kuning dan hijau, serta dipasangi kerincing atau biji jangung di dalamnya. Selain itu, para penari juga membawa perisai (salawaku). Adapun musik pengiring tarian ini adalah gendang (tifa), gong (saragai), dan gono yang berukuran kecil (tawa-tawwa). Para penari akan menampilkan tarian yang lincah dimana merefleksikan gerak menyerang, mengelak dan menangkis. Jumlah penari soya-soya sendiri tidak ditentukan. Bisa hanya empat orang dan bahkan hingga ribuan penari.

Pada April 2011 dalam Legu Gam 2011 digelar Festival Soya-Soya selama hampir 30 menit. Tarian itu dimainkan sekira 8.125 penari dan mengukir prestasi dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri).

Tarian soya-soya kini hanya ditampilkan untuk menyambut tamu kehormatan atau dari pihak kesultanan. Pemerintah Ternate menjadikan tarian soya-soya sebagai atraksi pariwisata yang bisa dinikmati wisatawan saat menyambangi Ternate. Anda juga dapat menikmati tarian ini dalam festival budaya di Ternate seperti Legu Gam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar