Dalam perspektif budaya Jawa, istilah bedhaya dan srimpi menyiratkan makna yang sangat penting.Makna
penting itu bukan saja bagi kalangan ningrat Jawa (para priyayi trahing
aluhur), melainkan juga bagi masyarakat petani Jawa. Di lingkungan
istana, Bedhaya dan Srimpi dipahami sebagai genre tari puteri.Jawa
yang merefleksikan tingkat keteraturan, keselarasan, kehalusan budi,
dan pengendalian diri yang tinggi. Sementara di kalangan petani Jawa,
istilah tersebut dipakai untuk memberikan identifikasi terhadap bentuk
atau genre tari yang dikualifikasikan sebagai tari alus.
Oleh karena itu, tari Gambyong, Bondhan, atau Golek oleh para petani
ada kalanya disebut dengan istilah bedhaya dan srimpi. Satu hal yang
menarik adalah, baik di dalam lingkungan istana maupun di kalangan
petani, istilah Bedhaya dan Srimpi tidak semata-mata dipakai untuk
menunjukkan perbedaan bentuk, struktur, atau gaya suatu tari dengan tari
yang lain, melainkan juga dipakai untuk memberikan suatu komitmen
terhadap kualitas estetik dan tingkat kedalaman muatan filosofisnya.
Sudah barang tentu ini tidak harus diartikan bahwa dasar-dasar estetika
tari istana sama dengan dasar-dasar estetika tari rakyat. Masing-masing
memiliki perbedaan tergantung pada latar belakang budaya, tradisi, dan
cara berfikir masyarakatnya tentang seni.
Menurut
sejarahnya, tari Bedhaya dalam pelembagaannya merupakan tari klasik
yang sangat tua usianya dan merupakan kesenian asli Jawa. Tari Bedhaya
yang tertua adalah Bedhaya Semang yang diciptakan oleh Hamengku Buwono I
pada tahun 1759, dengan cerita perkawinan Sultan Agung dari Mataram
dengan Ratu Kidul yang berkuasa di samudera Indonesia. Pelembagaan tari
Bedhaya Semang ini dianggap sakral karena perkawinan tersebut dianggap
sebagai hubungan suci. Karena kesakralannya itulah, maka Bedhaya Semang
menjadi pusaka kraton yang sangat dikeramatkan. Sebagai sebuah genre
tari, spesifikasi Bedhaya antara lain, adalah pertama, ditunjukkan
dengan penggunaan penari putri yang pada umumnya berjumlah sembilan dan
mempergunakan rias busana yang serba kembar. Kedua, Bedhaya sebagai
salah satu genre tari Jawa, telah dijadikan sumber referensi dalam
penyusunan gerak tari putri di keraton Yogyakarta. Ketiga, tari Bedhaya
memiliki muatan makna simbolik dan filosofis yang tinggi dan dalam,
sehingga menjadi contoh yang paling tepat bagi cara penerapan konsep
alus-kasar dalam tari Jawa (Pudjasworo 1993:2).
Muatan
makna simbolik filosofis yang begitu tinggi dan dalam dari tari
Bedhaya, menyebabkan genre tari ini senantiasa ditempatkan sebagai salah
satu bentuk seni pertunjukan yang paling penting di kasultanan
Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Tarian ini bahkan dianggap sebagai
salah satu atribut sang raja, yang pada gilirannya juga berfungsi
sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan dan kewibawaan para sultan
atau sunan. Niat dari setiap pergelaran tari Bedhaya untuk state ritual,
yang bisa dilihat di dalam setiap kandha Bedhaya Srimpi, yakni selalu
ditujukan untuk membangun kesejahteraan serta kemakmuran rakyat dan
negara, kelangsungan kekuasaan sang raja, dan semakin meningkatkan
kewibawaan dan kemashuran, serta harapan agar sang raja mendapat
anugerah usia panjang (Pudjasworo 1993:8).
Sejak
zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I sampai sekarang (Sultan H.
B. X), tradisi memiliki pelembagaan Bedhaya terus dilakukan.
Masing-masing Sultan ketika memerintah sengaja menciptakan atau
mementaskan pelembagaan tarian itu, semata-mata bukan kepentingan
pertunjukansaja, tetapi sebagai perwujudan pengukuhan kewibawaan, dan
lebih kepada kepentingan ritual. Ciri-ciri itu dapat dilihat misalnya
tempat pementasannya yang diselenggarakan di Bangsal Kencana dan
digunakan untuk kepentingan upacara penting, misalnya hari ulang tahun
raja, penobatan, dan ulang tahun penobatan raja. Sultan sebagai saksi
utama dan cerita atau tema yang dibawakan memiliki isi atau pun nilai
tertentu. Para penari yang membawakan harus dalam keadaan bersih dalam
arti tidak sedang menstruasi ( Hadi 2001:83).
Dalam
upacara-upacara atau ritus kerajaan yang bersifat sakral dengan
menghadirkan tari Bedhaya itu, berfungsi sebagai alat kebesaran raja,
sama dengan alat-alat kebesaran yang lain yang memiliki kekuatan magis
seperti berbagai macam senjata, payung kebesaran, mahkota, dan
benda-benda lainnya. Bedhaya dan benda-benda dengan kekuatan magis yang
terkandung di dalamnya, berfungsi sebagai regalia atau pusaka kerajaan,
yang senantiasa turut memperkokoh maupun memberi perlindungan,
ketenteraman, kesejahteraan kepada raja beserta seluruh kawulanya.
Kepercayaan seperti itu memiliki makna peranan kosmis raja, istana dan
pemerintahannya, yakni kesejajaran antara mikrokosmos dan makrokosmos.
Artinya istana sebagai mikrokosmos berusaha mencari keselarasan,
keserasian maupun keharmonisan kehidupan dengan makrokosmos, yaitu
mengharapkan kelanggengan untuk mencapai kesejahteraandan kemakmuran
kerajaan (Robert von Heine-Geldern dalam Hadi 2001:84).
Bersamaan
dengan pergeseran waktu dan perkembangan IPTEK, tari Bedhaya mengalami
perkembangan, walaupun begitu tetap mempunyai makna simbolik filosofis
yang tinggi. Perkembangan pelembagaan tari Bedhaya dapat dilihat dari
beberapa segi, yaitu :
1. Penari yang membawakan tarian Bedhaya
Dahulu yang boleh membawakan tari Bedhaya
hanya para sentana dalem (anak cucu raja), namun sekarang setelah
mengalami perkembangan, dapat pula ditarikan oleh siapapun yang berminat
dan mampu melakukannya. Hal ini dapat dilihat dengan adanya keterbukaan
dari pihak keraton yang bersedia menerima pihak-pihak luar keraton yang
ingin belajar dan mendalami tari Bedhaya.
2. Penyempitan waktu penampilan sebuah tari Bedhaya
Waktu yang diperlukan untuk menarikan
sebuah tari Bedhaya (tari Bedhaya Semang) pada jaman dahulu adalah
kurang lebih 3 jam. Sekarang setelah dilakukan pengemasan, maka waktu
yang dibutuhkan 1 jam sampai 11/2 jam. Meskipun demikian kaidah-kaidah
tari serta makna simbolik filosofisnya tetap tidak berubah.
3. Latar belakang cerita tari Bedhaya
Cerita yang diambil dalam penciptaan tari
Bedhaya mengalami perkembangan, yang semula bersumber pada pernikahan
sang raja dengan Ratu Kidul berkembang pada cerita babad, sejarah, epos
Mahabarata ataupun epos Ramayana. Beberapa contoh tari yang bersumber
dari cerita lain adalah :
a. Tari Bedhaya Bedah Madiun diambil dari cerita babad
b. Tari Bedhaya Ciptaning diambil dari cerita Arjuna Wiwaha
c. Tari Bedhaya Dewa Ruci diambil dari lakon Dewa Ruci
d. Tari Bedhaya Panca Krama diambil dari epos Mahabarata
e. Tari Bedhaya Putri Cina diambil dari cerita Menak
4. Syarat-syarat khusus penari Bedhaya
Pada saat memeragakan tari Bedhaya
biasanya penari dituntut harus masih gadis, berpuasa dan dalam keadaan
suci (tidak sedang datang bulan). Sekarang ketentuan tersebut tidak
seketat itu meskipun masih juga dilakukan apabila tarian tersebut untuk
penobatan raja dan dilakukan di dalam keraton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar