Tari
soya-soya bukan hanya bagian dari budaya kesultanan Ternate tetapi juga
refleksi sejarah perjuangan masyarakat Kayoa, di Kabupaten Halmahera
Selatan. Tarian ini sudah ada sejak ratusan tahun silam dimana merupakan
sebuah tarian heroik untuk menyambut pasukan selepas bertempur di medan
perang. Kata ‘soya-soya’ sendiri bermakna ‘semangat pantang’.
Tarian soya-soya merupakan bagian dari budaya Maluku Utara. Anak-anak di wilayah ini sedari masih kecil sudah diajari tarian tersebut, bahkan hingga di kampung-kampung. Berikutnya, bahkan tarian ini pun diajarkan kembali di Sekolah Dasar.
Catatan sejarah masyarakat Ternate
menyebutkan bahwa tahun 1570-1583 terjadi penyerbuan ke Benteng Nostra
Senora del Rosario (Benteng Kastela), diujung Selatan Ternate oleh
Sultan Babullah dan pasukannya. Penyerbuan ini bertujuan untuk mengambil
jenazah ayah handa Sultan Babullah, yaitu Sultan Khairun yang dibunuh
dengan cara kejam oleh tentara Portugis. Pertempuran itu menandai
kebangkitan perjuangan rakyat Kayoa terhadap penjajah dengan mengepung
benteng tersebut selama 5 tahun pada akhir abad ke-16.
Tarian soya-soya tercipta pada masa
Sultan Baabullah (Sultan Ternate Ke-24), dari Kesultanan Ternate, untuk
mengobarkan semagat pasukan pasca-tewasnya Sultan Khairun pada 25
Februari 1570. Saat itu, tarian soya-soya dimaknai sebagai perang
pembebasan dari Portugis hingga jatuhnya tahun 1575. Pada masa
berikutnya Kesultanan Ternate menjadi penguasa 72 pulau berpenghuni di
wilayah timur Nusantara hingga Mindanao Selatan di Filipina dan
Kepulauan Marshall.
Pakaian yang dikenakan dalam tarian ini
berwarna putih dan kain sambungan serupa rok berwarna warni (merah,
hitam, kuning dan hijau). Setiap penari akan mengenakan ikat kepala
berwarna kuning (taqoa) dimana itu sebagai simbol seorang prajurit perang. Adapun perlengkapan yang dibawa adalah berupa pedang (ngana-ngana)
dari bambu berhiaskan daun palem (woka) berwarna merah, kuning dan
hijau, serta dipasangi kerincing atau biji jangung di dalamnya. Selain
itu, para penari juga membawa perisai (salawaku). Adapun musik pengiring tarian ini adalah gendang (tifa), gong (saragai), dan gono yang berukuran kecil (tawa-tawwa).
Para penari akan menampilkan tarian yang lincah dimana merefleksikan
gerak menyerang, mengelak dan menangkis. Jumlah penari soya-soya sendiri
tidak ditentukan. Bisa hanya empat orang dan bahkan hingga ribuan
penari.
Pada April 2011 dalam
Legu Gam 2011 digelar Festival Soya-Soya selama hampir 30 menit. Tarian
itu dimainkan sekira 8.125 penari dan mengukir prestasi dalam Museum
Rekor Dunia Indonesia (Muri).
Tarian soya-soya kini hanya ditampilkan
untuk menyambut tamu kehormatan atau dari pihak kesultanan. Pemerintah
Ternate menjadikan tarian soya-soya sebagai atraksi pariwisata yang bisa
dinikmati wisatawan saat menyambangi Ternate. Anda juga dapat menikmati
tarian ini dalam festival budaya di Ternate seperti Legu Gam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar