Tari Perang adalah salah satu nama tarian yang
berasal dari Papua Barat. Tarian ini melambangkan kepahlawanan dan
kegagahan rakyat Papua. Tarian ini biasanya dibawakan oleh masyarakat
pegunungan. Digelar ketika kepala suku memerintahkan untuk berperang,
karena tarian ini mampu mengobarkan semangat.
Papua adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah
keragaman adat, suku dan budaya yang terbanyak. Dari hasil pengumpulan
data oleh tim yang dibentuk kepala Dinas Kebudayaan dan Provinsi Papua
dan setelah di seleksi dan ditetapkan melalui seminar yang melibatkan
tokoh Adat, tokoh Agama, tokoh Perempuan, tokoh Pemuda dan tokoh
Masyarakat mewakili 7 wilayah adat yaitu: Wilayah Adat Mamta, Wilayah
Adat Saireri, Wilayah Adat Bomberai, Wilayah Adat Domberai, Wilayah Adat
Ha-Anim, Wilayah Adat La-Pago, Wilayah Adat Mi-Pago, ternyata sebanyak
248 suku. Penetapan jumlah 248 suku asli ini merupakan data informasi
sementara dan terbaru.
Dari keragaman jumlah ini, kita bisa membayangkan betapa kaya akan
sumber penelitian bagi para akademisi antropologi, budayawan, seniman
dll. Dalam dunia seni pertunjukan, perkembangan tari di Indonesia
berhubungan erat dengan perkembangan masyarakat. James R. Brandon (1967)
membagi perkembangan pertunjukan di Asia Tenggara dapat dibagi menjadi 4
periode yaitu: Periode pra-sejarah, sekitar 2500SM-100M. Periode
masuknya kebudayaan India, 100-1000. Periode masuknya pengaruh Islam,
1300-1750. Periode masuknya negara barat, 1750-akhir perang dunia ke-2.
Dilihat dari segi antropologi budaya di Papua, dan analisis
perkembangan seni tari di Asia Tenggara, Tari Perang dari masyarakat
Papua Barat ini mengarah pada karya seni pertunjukkan periode
prasejarah. Masyarakat Papua, hingga hari ini tetap menjaga dan
melestarikan tarian ini sebagai bentuk penghormatan terhadap nenek
moyang dan harga diri sebuah bangsa atau suku. Hal ini menunjukkan bahwa
perkembangan masyarakat dan keseniannya tidak merupakan perkembangan
yang terputus satu sama lain, melainkan saling berkesinambungan. Mereka
percaya bahwa sejak dahulu nenek moyang masyarakat Papua selalu
berharap, bahwa budaya yang telah diwariskan kepada setiap generasi
tidak luntur, tidak tenggelam dan tidak terkubur oleh berbagai
perkembangan zaman yang kian hari kian bertambah maju. Seperti halnya
budaya tarian-tarian yang telah mereka ciptakan dengan berbagai
gelombang kesulitan, kesusahan dan keresahan tidak secepat dilupakan
oleh generasi berikutnya.
Banyak catatan yang mengisahkan peperangan antar suku di Papua pada jaman pra-sejarah, seperti tarian perang Velabhea,
yaitu tarian yang mengisahkan perang suku di Sentani. Masyarakat Papua
menggunakan tarian perang untuk memberi dorongan spiritual dalam
menghadapi peperang. Namun seiring perkembangan zaman dan peraturan
pemerintah yang melarang keras adanya peperangan antar suku, tarian ini
kini hanya menjadi tarian penyambut tamu undangan.
Tarian perang Papua ini termasuk dalam
tarian grup, atau bahkan bisa menjadi tarian kolosal. Karena tidak ada
batasan jumlah penari. Seperti umumnya tarian di Papua, tarian perang
pun diringi tifa dan alat musik lainnya, yang menjadi pembeda adalah
lantunan lagu-lagu perang pembangkit semangat. Dengan mengenakan busana
tradisional, seperti manik-manik penghias dada, rok yang terbuat dari
akar, dan daun-daun yang disisipkan pada tubuh menjadi bukti kecintaan
masyarakat Papua pada alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar